Ir. Soekarno
Ketika dilahirkan, Soekarno diberikan nama
Koesno Sosrodihardjo oleh orangtuanya.
[6] Namun karena ia sering sakit maka ketika berumur lima tahun namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya.
[6][8] Nama tersebut diambil dari seorang panglima perang dalam kisah
Bharata Yudha yaitu
Karna.
[6][8] Nama "Karna" menjadi "Karno" karena dalam
bahasa Jawa huruf "a" berubah menjadi "o" sedangkan awalan "su" memiliki arti "baik".
[8]
Di kemudian hari ketika menjadi presiden, ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi
Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (
Belanda)
[rujukan?].
Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda
tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam
Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah
[rujukan?]. Sebutan akrab untuk Soekarno adalah
Bung Karno.
Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis
Achmed Soekarno.
Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke
Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, "Siapa nama kecil
Soekarno?"
[rujukan?]
karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat di Indonesia
yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki
nama keluarga. Entah bagaimana, seseorang lalu menambahkan nama
Achmed di depan nama Soekarno. Hal ini pun terjadi di beberapa Wikipedia, seperti wikipedia
bahasa Denmark dan
bahasa Spanyol.
Sukarno menyebutkan bahwa nama Achmed didapatnya ketika menunaikan ibadah haji.
[9] Dalam beberapa versi lain,
[rujukan?]
disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama Sukarno, dilakukan oleh
para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang melakukan misi luar
negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara
Indonesia oleh negara-negara
Arab
Masa kecil dan remaja
Rumah masa kecil Bung Karno
Soekarno dilahirkan dengan seorang ayah yang bernama
Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya yaitu
Ida Ayu Nyoman Rai.
[6] Keduanya bertemu ketika Raden Soekemi yang merupakan seorang guru ditempatkan di
Sekolah Dasar Pribumi di
Singaraja,
Bali.
[6] Nyoman Rai merupakan keturunan bangsawan dari Bali dan beragama
Hindu, sedangkan Raden Soekemi sendiri beragama
Islam.
[6] Mereka telah memiliki seorang putri yang bernama Sukarmini sebelum Soekarno lahir.
[10] Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya,
Raden Hardjokromo di
Tulung Agung,
Jawa Timur.
[6]
Ia bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke
Mojokerto, mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut.
[6] Di Mojokerto, ayahnya memasukan Soekarno ke
Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja.
[10] Kemudian pada
Juni 1911 Soekarno dipindahkan ke
Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di
Hoogere Burger School (HBS).
[6] Pada tahun
1915, Soekarno telah menyelesaikan pendidikannya di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS di Surabaya, Jawa Timur.
[6] Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama
H.O.S. Tjokroaminoto.
[6] Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan kediamannya.
[6] Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin
Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu, seperti
Alimin,
Musso,
Dharsono,
Haji Agus Salim, dan
Abdul Muis.
[6] Soekarno kemudian aktif dalam kegiatan organisasi pemuda
Tri Koro Dharmo yang dibentuk sebagai organisasi dari
Budi Utomo.
[6] Nama organisasi tersebut kemudian ia ganti menjadi
Jong Java (Pemuda Jawa) pada
1918.
[6] Selain itu, Soekarno juga aktif menulis di harian "Oetoesan Hindia" yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.
[10]
Soekarno sewaktu menjadi siswa HBS Soerabaja
Tamat
HBS Soerabaja bulan
Juli 1921[11], bersama Djoko Asmo rekan satu angkatan di HBS, Soekarno melanjutkan ke
Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang
ITB) di
Bandung dengan mengambil jurusan
teknik sipil pada tahun
1921[12], setelah dua bulan dia meninggalkan kuliah, tetapi pada tahun
1922 mendaftar kembali
[13] dan tamat pada tahun
1926.
[14] Soekarno dinyatakan lulus ujian insinyur pada tanggal
25 Mei 1926 dan pada
Dies Natalis ke-6
TH Bandung tanggal
3 Juli 1926 dia diwisuda bersama delapan belas
insinyur lainnya.
[15] Prof.
Jacob Clay selaku ketua fakultas pada saat itu menyatakan
"Terutama penting peristiwa itu bagi kita karena ada di antaranya 3 orang insinyur orang Jawa".
[16] Mereka adalah Soekarno, Anwari, dan Soetedjo
[17], selain itu ada seorang lagi dari Minahasa yaitu Johannes Alexander Henricus Ondang.
[18]
Saat di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman
Haji Sanusi yang merupakan anggota
Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto.
[6] Di sana ia berinteraksi dengan
Ki Hajar Dewantara,
Tjipto Mangunkusumo, dan
Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi
National Indische Partij.
Bung Karno adalah presiden pertama Indonesia yang juga dikenal sebagai
arsitek alumni dari
Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang
ITB) di
Bandung dengan mengambil jurusan
teknik sipil dan tamat pada tahun
1926.
[19] [20] [21]
Pekerjaan dan Karya di Bidang Arsitektur
- Ir. Soekarno pada tahun 1926 mendirikan biro insinyur bersama Ir. Anwari, banyak mengerjakan rancang bangun bangunan. Selanjutnya bersama Ir. Rooseno juga merancang dan membangun rumah-rumah dan jenis bangunan lainnya.
- Ketika dibuang di Bengkulu menyempatkan merancang beberapa rumah dan merenovasi total masjid Jami' di tengah kota.[22]
Semasa menjabat sebagai presiden, ada beberapa karya arsitektur yang
dipengaruhi atau dicetuskan oleh Soekarno. Juga perjalanan secara
maraton dari bulan Mei sampai Juli pada tahun
1956 ke negara-negara
Amerika Serikat,
Kanada,
Italia,
Jerman Barat, dan
Swiss.
Membuat cakrawala alam pikir Soekarno semakin kaya dalam menata
Indonesia secara holistik dan menampilkannya sebagai negara yang baru
merdeka
[23]. Soekarno membidik
Jakarta
sebagai wajah (muka) Indonesia terkait beberapa kegiatan berskala
internasional yang diadakan di kota itu, namun juga merencanakan sebuah
kota sejak awal yang diharapkan sebagai pusat pemerintahan di masa
datang. Beberapa karya dipengaruhi oleh Soekarno atau atas perintah dan
koordinasinya dengan beberapa arsitek seperti
Frederich Silaban
dan R.M. Soedarsono, dibantu beberapa arsitek junior untuk visualisasi.
Beberapa desain arsitektural juga dibuat melalui sayembara
[24]
- Masjid Istiqlal 1951
- Monumen Nasional 1960
- Gedung Conefo [24]
- Gedung Sarinah [24]
- Wisma Nusantara [24]
- Hotel Indonesia 1962[25]
- Tugu Selamat Datang[25]
- Monumen Pembebasan Irian Barat[25]
- Patung Dirgantara[25]
- Tahun 1955
Ir. Soekarno menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan sebagai seorang
arsitek, Soekarno tergerak memberikan sumbangan ide arsitektural kepada
pemerintah Arab Saudi agar membuat bangunan untuk melakukan sa’i menjadi dua jalur dalam bangunan dua lantai. Pemerintah Arab Saudi akhirnya melakukan renovasi Masjidil Haram secara besar-besaran pada tahun 1966, termasuk pembuatan lantai bertingkat bagi umat yang melaksanakan sa’i menjadi dua jalur dan lantai bertingkat untuk melakukan tawaf [21]
- Rancangan skema Tata Ruang Kota Palangkaraya yang diresmikan pada tahun 1957 [21]
Moch. Hatta
Mohammad Hatta lahir dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha. Ayahnya merupakan seorang keturunan ulama tarekat di
Batuhampar, dekat
Payakumbuh,
Sumatera Barat. Sedangkan ibunya berasal dari keluarga pedagang di
Bukittinggi. Ia lahir dengan nama Muhammad Athar pada tanggal
12 Agustus 1902. Namanya, Athar berasal dari
bahasa Arab, yang berarti "harum".
Ia merupakan anak kedua, setelah Rafiah yang lahir pada tahun 1900.
Sejak kecil, ia telah dididik dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga
yang taat melaksanakan ajaran agama Islam. Kakeknya dari pihak ayah,
Abdurahman Batuhampar dikenal sebagai ulama pendiri Surau Batuhampar,
sedikit dari surau yang bertahan pasca-
Perang Padri. Sementara itu, ibunya berasal dari keturunan pedagang. Beberapa orang mamaknya adalah pengusaha besar di
Jakarta.
Ayahnya meninggal pada saat ia masih berumur tujuh bulan. Setelah kematian ayahnya, ibunya menikah dengan Agus Haji Ning, seorang pedagang dari
Palembang,
Haji Ning sering berhubungan dagang dengan Ilyas Bagindo Marah,
kakeknya dari pihak ibu. Dari perkawinan Siti Saleha dengan Haji Ning,
mereka dikaruniai empat orang anak, yang kesemuanya adalah perempuan.
Mohammad Hatta pertama kali mengenyam pendidikan formal di sekolah swasta.
Setelah enam bulan, ia pindah ke sekolah rakyat dan sekelas dengan
Rafiah, kakaknya. Namun, pelajarannya berhenti pada pertengahan semester
kelas tiga. Ia lalu pindah ke
ELS di Padang (kini
SMA Negeri 1 Padang) sampai tahun 1913, kemudian melanjutkan ke
MULO sampai tahun 1917. Selain pengetahuan umum, ia telah ditempa ilmu-ilmu agama sejak kecil. Ia pernah belajar agama kepada
Muhammad Jamil Jambek,
Abdullah Ahmad, dan beberapa ulama lainnya.
Selain keluarga, perdagangan memengaruhi perhatian Hatta terhadap
perekonomian. Di Padang, ia mengenal pedagang-pedagang yang masuk
anggota Serikat Usaha dan juga aktif dalam
Jong Sumatranen Bond sebagai bendahara. Kegiatannya ini tetap dilanjutkannya ketika ia bersekolah di Prins Hendrik School. Mohammad Hatta tetap menjadi bendahara di
Jakarta.
Kakeknya bermaksud akan ke
Mekkah, dan pada kesempatan tersebut, ia dapat membawa Mohammad Hatta melanjutkan pelajaran di bidang
agama, yakni ke
Mesir (Al-Azhar). Ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas
surau
di Batu Hampar yang memang sudah menurun semenjak ditinggalkan Syaikh
Abdurrahman. Tapi, hal ini diprotes dan mengusulkan pamannya, Idris
untuk menggantikannya. Menurut catatan Amrin Imran, Pak Gaeknya kecewa dan Syekh Arsyad pada akhirnya menyerahkan kepada Tuhan.
1921-1932: Sewaktu di Belanda
Hatta (pertama dari kanan) bersama para pengurus
Perhimpunan Indonesia, pada waktu itu (tahun
1925) Hatta masih berstatus seorang bendahara di situ
Pergerakan
politik ia mulai sewaktu bersekolah di
Belanda dari
1921-
1932. Ia bersekolah di
Handels Hogeschool (kelak sekolah ini disebut
Economische Hogeschool, sekarang menjadi
Universitas Erasmus Rotterdam), selama bersekolah di sana, ia masuk organisasi sosial
Indische Vereniging yang kemudian menjadi organisasi
politik dengan adanya pengaruh
Ki Hadjar Dewantara,
Cipto Mangunkusumo, dan
Douwes Dekker. Pada tahun
1923, Hatta menjadi bendahara dan mengasuh majalah
Hindia Putera yang berganti nama menjadi
Indonesia Merdeka. Pada tahun
1924, organisasi ini berubah nama menjadi
Indische Vereniging (
Perhimpunan Indonesia; PI).
Pada tahun
1926, ia menjadi pimpinan Perhimpunan Indonesia. Sebagai akibatnya, ia terlambat menyelesaikan
studi. Di bawah kepemimpinannya, PI mendapatkan perubahan. Perhimpunan ini lebih banyak memperhatikan perkembangan pergerakan di
Indonesia dengan memberikan banyak komentar, dan banyak ulasan di media massa di
Indonesia. Setahun kemudian, ia seharusnya sudah berhenti dari jabatan ketua, namun ia dipilih kembali hingga tahun 1930. Pada Desember 1926,
Semaun dari
PKI datang kepada Hatta untuk menawarkan pimpinan pergerakan nasional secara umum kepada PI,
selain itu dia dan Semaun membuat suatu perjanjian bernama "Konvensi
Semaun-Hatta". Inilah yang dijadikan alasan Pemerintah Belanda ingin
menangkap Hatta. Waktu itu, Hatta belum meyetujui paham
komunis.
Stalin membatalkan keinginan Semaun, sehingga hubungan Hatta dengan komunisme mulai memburuk. Sikap Hatta ini ditentang oleh anggota PI yang sudah dikuasai komunis.
Pada tahun
1927, ia mengikuti sidang "Liga Menentang Imperialisme, Penindasan Kolonial dan untuk Kemerdekaan Nasional" di
Frankfurt.
[a] Dalam sidang ini, pihak komunis dan utusan dari
Rusia namapak ingin menguasai sidang ini, sehingga Hatta tidak bisa percaya terhadap komunis. Pada waktu itu, majalah PI,
Indonesia Merdeka masuk dengan mudah ke
Indonesia lewat penyelundupan, karena banyak penggeledahan oleh pihak ke
polisian terhadap kaum pergerakan yang dicurigai.
Mohammad Hatta bersama Abdulmadjid Djojohadiningrat, Nazir Datuk Pamuntjak, dan
Ali Sastroamidjojo
Pada 25 September 1927, Hatta bersama
Ali Sastroamidjojo,
Nazir Datuk Pamuntjak, dan
Madjid Djojohadiningrat ditangkap oleh penguasa
Belanda atas tuduhan mengikuti
partai terlarang yang dikait-kaitkan dengan
Semaun, terlibat pemberontakan di
Indonesia yang dilakukan
PKI dari tahun
1926-
1927, dan menghasut (
opruiing) supaya menentang Kerajaan Belanda. Moh. Hatta sendiri dihukum tiga tahun penjara. Mereka semua dipenjara di
Rotterdam. Dia juga dituduh akan melarikan diri, sehingga dia yang sedang memperkenalkan
Indonesia ke kota-kota di
Eropa sengaja pulang lebih cepat begitu berita ini tersebar.
Semua tuduhan tersebut, ia tolak dalam
pidatonya "Indonesia Merdeka" (
Indonesie Vrij) pada sidang kedua tanggal 22 Maret 1928. Pidato ini sampai ke
Indonesia dengan cara penyelundupan. Ia juga dibela 3 orang pengacara Belanda yang salah satunya berasal dari
parlemen. Yang dari parlemen, bernama
J.E.W. Duys.
Tokoh ini memang bersimpati padanya. Setelah ditahan beberapa bulan,
mereka berempat dibebaskan dari tuduhan, karena tuduhan tidak bisa
dibuktikan.
Sampai pada tahun
1931,
Mohammad Hatta mundur dari kedudukannya sebagai ketua karena hendak
mengikuti ujian sarjana, sehingga ia berhenti dari PI; namun demikian ia
akan tetap membantu PI. Akibatnya, PI jatuh ke tangan
komunis, dan mendapat arahan dari partai komunis Belanda dan juga dari
Moskow. Setelah tahun
1931, PI mengecam keras kebijakan Hatta dan mengeluarkannya dari organisasi ini. PI di
Belanda
mengecam sikap Hatta sebab ia bersama Soedjadi mengkritik secara
terbuka terhadap PI. Perhimpunan menahan sikap terhadap kedua orang ini.
Pada Desember 1931, para pengikut Hatta segera membuat gerakan
tandingan yang disebut Gerakan Merdeka yang kemudian bernama Pendidikan
Nasional Indonesia yang kelak disebut PNI Baru. Ini mendorong Hatta dan
Syahrir
yang pada saat itu sedang bersekolah di Belanda untuk mengambil langkah
kongkret untuk mempersiapkan kepemimpinan di sana. Hatta sendiri merasa
perlu untuk menyelesaikan studinya terlebih dahulu. Oleh karenanya,
Syahrir terpaksa pulang dan untuk memimpin PNI. Kalau Hatta kembali pada
1932, diharapkan Syahrir dapat melanjutkan studinya.
Sekembalinya ia dari
Belanda, ia ditawarkan masuk kalangan Sosialis Merdeka (
Onafhankelijke Socialistische Partij, OSP) untuk menjadi anggota parlemen Belanda, dan menjadi perdebatan hangat di Indonesia pada saat itu. Pihak OSP mengiriminya
telegram pada 6 Desember 1932, yang berisi kesediaannya menerima pencalonan anggota
Parlemen. Ini dikarenakan ia berpendapat bahwa ia tidak setuju orang Indonesia menjadi anggota dalam parlemen Belanda. Sebenarnya dia menolak masuk, dengan alasan ia perlu berada dan berjuang di Indonesia.
[b] Namun, pemberitaan di Indonesia mengatakan bahwa Hatta menerima kedudukan tersebut, sehingga
Soekarno menuduhnya tidak konsisten dalam menjalankan sistem non-
kooperatif.
Setelah Hatta kembali dari Belanda, Syahrir tidak bisa ke Belanda karena keduanya keburu ditangkap Belanda pada
25 Februari 1934 dan dibuang ke
Digul, dan selanjutnya ke
Banda Neira. Baik di
Digul maupun
Banda Neira, ia banyak menulis di
koran-koran Jakarta, dan ada juga untuk
majalah-majalah di
Medan.
Artikelnya tidak terlalu politis, namun bersifat lebih menganalisis dan
mendidik pembaca. Ia juga banyak membahas pertarungan kekuasaan di
Pasifik.
Semasa diasingkan ke
Digul,
ia membawa semua buku-bukunya ke tempat pengasingannya. Di sana, ia
mengatur waktunya sehari-hari. Pada saat hendak membaca, ia tak mau
diganggu. Sehingga, beberapa kawannya menganggap dia sombong. Ia juga merupakan sosok yang peduli terhadap tahanan. Ia menolak bekerja sama dengan penguasa setempat, misalnya memberantas
malaria. Apabila ia mau bekerja sama, ia diberi gaji f 7.50 sebulan. Namun, kalau tidak, ia hanya diberi gaji f 2.50 saja. Gajinya itu tidak ia habiskan sendiri. Ia juga peduli terhadap kawannya yang kekurangan.
Di
Digul, selain bercocok tanam,
ia juga membuat kursus kepada para tahanan. Di antara tahanan tersebut,
ada beberapa orang yang ibadah shalat dan puasanya teratur; baik dari
Minangkabau maupun
Banten. Tapi, mereka ditangkap karena -pada umumnya- terlibat pemberontakan komunis. Pada masa itu, ia menulis surat untuk iparnya untuk dikirimi alat-alat pertukangan seperti
paku
dan gergaji. Selain itu, dia juga menceritakan nasib orang-orang
buangan dalam surat itu. Kemudian, ipar Hatta mengirim surat itu ke
koran
Pemandangan di Jakarta dan segera surat itu dimuat. Surat itu dibaca menteri jajahan pada saat itu, Colijn. Colijn mengecam pemerintah dan segera mengirim
residen Ambon
untuk menemui Hatta di Digul. Maka uang diberikan untuknya, Hatta
menolak dan ia juga meminta supaya kalau mau ditambah, diberikan juga
kepada pemimpin lain yang hidup dalam pembuangan.
Pada 1937, ia menerima
telegram yang mengatakan dia dipindah dari Digul ke
Banda Neira.
[c]
Hatta pindah bersama Syahrir pada bulan Februari pada tahun itu, dan
mereka menyewa sebuah rumah yang cukup besar. Di situ, ada beberapa
kamar dan ruangan yang cukup besar. Adapun ruangan besar itu
digunakannya untuk menyimpan bukunya dan tempat bekerjanya.
Sewaktu di
Banda Neira, ia bercocok tanam dan menulis di
koran "Sin Tit Po" (dipimpin
Lim Koen Hian; bulanan ini berhenti pada 1938) dengan honorarium f 75 dalam
Bahasa Belanda. Kemudian, ia menulis di
Nationale Commantaren (Komentar Nasional; dipimpin
Sam Ratulangi) dan juga, ia menulis di koran
Pemandangan dengan honorarium f 50 sebulan per satu/dua tulisan. Hatta juga pernah menerima tawaran
Kiai Haji Mas Mansur untuk ke
Makassar, dia menolak dengan alasan kalaupun dirinya ke Makassara dia masih berstatus tahanan juga. Waktu itu, sudah ada
Cipto Mangunkusumo dan
Iwa Kusumasumantri. Mereka semua sudah saling mengenal.
Selain itu, di Banda Neira, Hatta juga mengajar kepada beberapa orang pemuda. Anak dr. Cipto belajar tata-buku dan
sejarah. Ada juga anak asli daerah Banda Neira yang belajar kepada Hatta. Ada seorang kenalan Hatta dari
Sumatera Barat yang mengirimkan dua orang kemenakannya untuk belajar
ekonomi dan juga sejarah. Selain itu, dari
Bukittinggi dikirim
Anwar Sutan Saidi sebanyak empat orang pemuda yang belajar kepada Hatta.
Pada tahun 1941, Mohammad Hatta menulis artikel di koran
Pemandangan yang isinya supaya rakyat
Indonesia
jangan memihak kepada baik ke pihak Barat ataupun fasisme Jepang.
Kelak, di zaman Jepang tulisan Hatta dijadikan bahan oleh penguasa
Jepang untuk tidak percaya Hatta selama
Perang Pasifik. Yang mana, kelak tulisan Hatta dibaca Murase, seorang Wakil Kepala
Kenpeitei (dinas intelijen) dan menyarankan Hatta agar mengikuti
Nippon Sheisin di
Tokyo pada November 1943.
Pada tanggal 8 Desember 1941, angkatan perang
Jepang menyerang
Pearl Harbor,
Hawaii. Ini memicu
Perang Pasifik, dan setelah Pearl Harbor, Jepang segera menguasai sejumlah daerah, termasuk
Indonesia. Dalam keadaan genting tersebut, Pemerintah Belanda memerintahkan untuk memindahkan orang-orang buangan dari
Digul ke
Australia, karena khawatir kerjasama dengan Jepang. Hatta dan
Syahrir dipindahkan pada Februari 1942, ke Sukabumi setelah menginap sehari di
Surabaya dan naik
kereta api ke
Jakarta. Bersama kedua orang ini, turut pula 3 orang
anak-anak dari
Banda yang dijadikan anak angkat oleh Syahrir.
Setelah itu, ia dibawa kembali ke
Jakarta. Ia bertemu Mayor Jenderal Harada. Hatta menanyakan keinginan Jepang datang ke
Indonesia.
Harada menawarkan kerjasama dengan Hatta. Kalau mau, ia akan diberi
jabatan penting. Hatta menolak, dan memilih menjadi penasihat.
Ia dijadikan penasihat dan diberi kantor di Pegangsaan Timur dan rumah
di Oranje Boulevard (Jalan Diponegoro). Orang terkenal di masa sebelum
perang, baik orang pergerakan, atau mereka yang bekerjasama dengan
Belanda, diikut sertakan seperti
Abdul Karim Pringgodigdo,
Surachman, Sujitno Mangunkususmo,
Sunarjo Kolopaking,
Supomo, dan
Sumargo Djojohadikusumo. Pada masa ini, ia banyak mendapat tenaga-tenaga baru. Pekerjaan di sini, merupakan tempat saran oleh pihak Jepang.
Jepang mengharapkan agar Hatta memberikan nasehat yang menguntungkan
mereka, malah Hatta memanfaatkan itu untuk membela kepentingan rakyat.
Syahrir lahir dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin
Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah yang berasal
dari
Koto Gadang,
Agam,
Sumatera Barat [2] Ayahnya menjabat sebagai penasehat
sultan Deli dan kepala jaksa (
landraad) di
Medan. Syahrir bersaudara seayah dengan
Rohana Kudus, aktivis serta wartawan wanita yang terkemuka.
Sekolah MULO di Medan (sekitar tahun 1925)
Syahrir mengenyam sekolah dasar (
ELS) dan sekolah menengah (
MULO)
terbaik di Medan, dan membetahkannya bergaul dengan berbagai buku-buku
asing dan ratusan novel Belanda. Malamnya dia mengamen di
Hotel De Boer (kini
Hotel Natour Dharma Deli), hotel khusus untuk tamu-tamu kulit putih.
Pada 1926, ia selesai dari MULO, masuk sekolah lanjutan atas (
AMS) di
Bandung, sekolah termahal di
Hindia Belanda
saat itu. Di sekolah itu, dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa
Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga
aktor. Hasil mentas itu dia gunakan untuk membiayai sekolah yang ia
dirikan,
Tjahja Volksuniversiteit, Cahaya Universitas Rakyat.
Di kalangan siswa sekolah menengah (AMS) Bandung, Syahrir menjadi
seorang bintang. Syahrir bukanlah tipe siswa yang hanya menyibukkan diri
dengan buku-buku pelajaran dan pekerjaan rumah. Ia aktif dalam klub
debat di sekolahnya. Syahrir juga berkecimpung dalam aksi pendidikan
melek huruf secara gratis bagi anak-anak dari keluarga tak mampu dalam
Tjahja Volksuniversiteit.
Aksi sosial Syahrir kemudian menjurus jadi politis. Ketika para
pemuda masih terikat dalam perhimpunan-perhimpunan kedaerahan, pada
tanggal
20 Februari 1927,
Syahrir termasuk dalam sepuluh orang penggagas pendirian himpunan
pemuda nasionalis, Jong Indonesië. Perhimpunan itu kemudian berubah nama
jadi Pemuda Indonesia yang menjadi motor penyelenggaraan Kongres Pemuda
Indonesia. Kongres monumental yang mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928.
Sebagai siswa sekolah menengah, Syahrir sudah dikenal oleh polisi
Bandung sebagai pemimpin redaksi majalah himpunan pemuda nasionalis.
Dalam kenangan seorang temannya di AMS, Syahrir kerap lari digebah
polisi karena membandel membaca koran yang memuat berita pemberontakan
PKI 1926; koran yang ditempel pada papan dan selalu dijaga polisi agar
tak dibaca para pelajar sekolah.
Syahrir melanjutkan pendidikan ke negeri
Belanda di Fakultas Hukum,
Universitas Amsterdam.
Di sana, Syahrir mendalami sosialisme. Secara sungguh-sungguh ia
berkutat dengan teori-teori sosialisme. Ia akrab dengan Salomon Tas,
Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat, dan istrinya Maria Duchateau, yang
kelak dinikahi Syahrir, meski sebentar. (Kelak Syahrir menikah kembali
dengan
Poppy, kakak tertua dari
Soedjatmoko dan
Miriam Boediardjo).
Dalam tulisan kenangannya, Salomon Tas berkisah perihal Syahrir yang
mencari teman-teman radikal, berkelana kian jauh ke kiri, hingga ke
kalangan
anarkis yang mengharamkan segala hal berbau
kapitalisme
dengan bertahan hidup secara kolektif – saling berbagi satu sama lain
kecuali sikat gigi. Demi lebih mengenal dunia proletar dan organisasi
pergerakannya, Syahrir pun bekerja pada Sekretariat
Federasi Buruh Transportasi Internasional.
Selain menceburkan diri dalam sosialisme, Syahrir juga aktif dalam
Perhimpunan Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin oleh
Mohammad Hatta.
Di awal 1930, pemerintah Hindia Belanda kian bengis terhadap organisasi
pergerakan nasional, dengan aksi razia dan memenjarakan pemimpin
pergerakan di tanah air, yang berbuntut pembubaran
Partai Nasional Indonesia
(PNI) oleh aktivis PNI sendiri. Berita tersebut menimbulkan
kekhawatiran di kalangan aktivis PI di Belanda. Mereka selalu menyerukan
agar pergerakan jangan jadi melempem lantaran pemimpinnya dipenjarakan.
Seruan itu mereka sampaikan lewat tulisan. Bersama Hatta, keduanya
rajin menulis di
Daulat Rakjat, majalah milik
Pendidikan Nasional Indonesia, dan memisikan pendidikan rakyat harus menjadi tugas utama pemimpin politik.
“ |
"Pertama-tama, marilah kita mendidik, yaitu memetakan jalan menuju kemerdekaan," katanya. |
” |
Pengujung tahun 1931, Syahrir meninggalkan kampusnya untuk kembali ke
tanah air dan terjun dalam pergerakan nasional. Syahrir segera
bergabung dalam organisasi Partai Nasional Indonesia (PNI Baru), yang
pada Juni 1932 diketuainya. Pengalaman mencemplungkan diri dalam dunia
proletar ia praktekkan di tanah air. Syahrir terjun dalam pergerakan
buruh. Ia memuat banyak tulisannya tentang perburuhan dalam Daulat
Rakyat. Ia juga kerap berbicara perihal pergerakan buruh dalam
forum-forum politik.
Mei 1933, Syahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.
Hatta kemudian kembali ke tanah air pada Agustus 1932, segera pula ia
memimpin PNI Baru. Bersama Hatta, Syahrir mengemudikan PNI Baru sebagai
organisasi pencetak kader-kader pergerakan. Berdasarkan analisis
pemerintahan kolonial Belanda, gerakan politik Hatta dan Syahrir dalam
PNI Baru justru lebih radikal tinimbang Soekarno dengan PNI-nya yang
mengandalkan mobilisasi massa. PNI Baru, menurut polisi kolonial, cukup
sebanding dengan organisasi Barat. Meski tanpa aksi massa dan agitasi;
secara cerdas, lamban namun pasti, PNI Baru mendidik kader-kader
pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusionernya.
Karena takut akan potensi revolusioner PNI Baru, pada Februari 1934,
pemerintah kolonial Belanda menangkap, memenjarakan, kemudian membuang
Syahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke
Boven-Digoel. Hampir setahun dalam kawasan malaria di Papua itu, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke
Bandaneira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun.
Sementara Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang,
Syahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Syahrir yakin
Jepang tak mungkin memenangkan perang, oleh karena itu, kaum pergerakan
mesti menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat.
Simpul-simpul jaringan gerakan bawah tanah kelompok Syahrir adalah
kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan dan kader-kader
muda yakni para mahasiswa progresif.
Sastra, seorang tokoh senior pergerakan buruh yang akrab dengan Syahrir, menulis:
“ |
Di bawah kepemimpinan
Syahrir, kami bergerak di bawah tanah, menyusun kekuatan subjektif,
sambil menunggu perkembangan situasi objektif dan tibanya saat-saat
psikologis untuk merebut kekuasaan dan kemerdekaan. |
” |
Situasi objektif itu pun makin terang ketika Jepang makin terdesak
oleh pasukan Sekutu. Syahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia dengan
cara sembunyi-sembunyi mendengarkan berita dari stasiun radio luar
negeri. Kala itu, semua radio tak bisa menangkap berita luar negeri
karena disegel oleh Jepang. Berita-berita tersebut kemudian ia sampaikan
ke Hatta. Sembari itu, Syahrir menyiapkan gerakan bawah tanah untuk
merebut kekuasaan dari tangan Jepang.
Syahrir yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk
memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus karena Jepang sudah
menyerah, Syahrir siap dengan massa gerakan bawah tanah untuk
melancarkan aksi perebutan kekuasaan sebagai simbol dukungan rakyat.
Soekarno dan Hatta yang belum mengetahui berita menyerahnya Jepang,
tidak merespon secara positif. Mereka menunggu keterangan dari pihak
Jepang yang ada di Indonesia, dan proklamasi itu mesti sesuai prosedur
lewat keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang
dibentuk oleh Jepang. Sesuai rencana PPKI, kemerdekaan akan
diproklamasikan pada 24 September 1945.
Sikap Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para pemuda, sebab
sikap itu berisiko kemerdekaan RI dinilai sebagai hadiah Jepang dan RI
adalah buatan Jepang. Guna mendesak lebih keras, para pemuda pun
menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus. Akhirnya, Soekarno dan
Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus.
Revolusi menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karena itu sulit
untuk berpikir jernih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang punya konsep
dan langkah strategis meyakinkan guna mengendalikan kecamuk revolusi.
Saat itu, ada dua orang dengan pemikirannya yang populer kemudian dianut
banyak kalangan pejuang republik: Tan Malaka dan Sutan Syahrir. Dua
tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari noda kolaborasi
dengan Pemerintahan Fasis Jepang, meski kemudian bertentangan jalan
dalam memperjuangan kedaulatan republik.
Di masa genting itu, Bung Syahrir menulis
Perjuangan Kita. Sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II.
Perjungan Kita
muncul menyentak kesadaran. Risalah itu ibarat pedoman dan peta guna
mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah badai revolusi.
Tulisan-tulisan Syahrir dalam
Perjuangan Kita,
membuatnya tampak berseberangan dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno
amat terobsesi pada persatuan dan kesatuan, Syahrir justru menulis,
"Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu
insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya
menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit,
tersesat, dan merusak pergerakan."
Dan dia mengecam Soekarno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas
solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh
terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita." Dia juga mengejek gaya agitasi
massa Soekarno yang menurutnya tak membawa kejernihan.
Perjuangan Kita adalah karya terbesar Syahrir, kata Salomon Tas, bersama surat-surat politiknya semasa pembuangan di
Boven Digul dan
Bandaneira. Manuskrip itu disebut Indonesianis
Ben Anderson
sebagai, "Satu-satunya usaha untuk menganalisa secara sistematis
kekuatan domestik dan internasional yang memperngaruhi Indonesia dan
yang memberikan perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan pada
masa depan."
Terbukti kemudian, pada November ’45 Syahrir didukung pemuda dan
ditunjuk Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36
tahun, mulailah lakon Syahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan
Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap
Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.
Penculikan Perdana Menteri Sjahrir merupakan peristiwa yang terjadi pada
26 Juni 1946 di
Surakarta oleh kelompok oposisi
Persatuan Perjuangan yang tidak puas atas diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan
Kabinet Sjahrir II dengan
pemerintah Belanda
karena sangat merugikan perjuangan Bangsa Indonesia saat itu. Kelompok
ini menginginkan pengakuan kedaulatan penuh (Merdeka 100%), sedangkan
kabinet yang berkuasa hanya menuntut pengakuan kedaulatan atas
Jawa dan
Madura.
Kelompok Persatuan Perjuangan ini dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di antaranya
Tan Malaka
dari Persatuan Perjuangan bersama dengan Panglima besar Jendral
sudirman. Perdana Menteri Sjahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan
di Paras.
Presiden
Soekarno sangat marah atas aksi penculikan ini dan memerintahkan Polisi Surakarta menangkap para pimpinan kelompok tersebut. Tanggal
1 Juli 1946, ke-14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan.
Tanggal
2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor Jendral
Soedarsono menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke 14 pimpinan penculikan.
Presiden Soekarno marah mendengar penyerbuan penjara dan memerintahkan Letnan Kolonel
Soeharto,
pimpinan tentara di Surakarta, untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan
pimpinan penculikan. Lt. Kol. Soeharto menolak perintah ini karena dia
tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap
para pemberontak kalau ada perintah langsung dari Kepala Staf militer
RI, Jendral Soedirman. Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini
dan menjuluki Lt. Kol. Soeharto sebagai perwira keras kepala (
koppig).
Kelak Let. Kol. Soeharto menjadi Presiden RI Soeharto dan menerbitkan
catatan tentang peristiwa pemberontakan ini dalam buku otobiografinya
Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya.
Lt. Kol. Soeharto berpura-pura bersimpati pada pemberontakan dan
menawarkan perlindungan pada Mayjen Soedarsono dan ke 14 orang pimpinan
di markas resimen tentara di Wiyoro. Malam harinya Lt. Kol. Soeharto
membujuk Mayjen Soedarsono dan para pimpinan pemberontak untuk menghadap
Presiden RI di Istana Presiden di Jogyakarta. Secara rahasia, Lt. Kol.
Soeharto juga menghubungi pasukan pengawal Presiden dan memberitahukan
rencana kedatangan Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak.
Tanggal
3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di
Yogyakarta oleh pasukan pengawal presiden. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai
pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal.
Perangko Sutan Syahrir 15 Rupiah
Setelah kejadian penculikan Syahrir hanya bertugas sebagai Menteri
Luar Negeri, tugas sebagai Perdana Menteri diambil alih Presiden
Soekarno. Namun pada tanggal
2 Oktober 1946, Presiden menunjuk kembali Syahrir sebagai Perdana Menteri agar dapat melanjutkan
Perundingan Linggarjati yang akhirnya ditandatangani pada
15 November 1946.
Tanpa Syahrir, Soekarno bisa terbakar dalam lautan api yang telah ia
nyalakan. Sebaliknya, sulit dibantah bahwa tanpa Bung Karno, Syahrir
tidak berdaya apa-apa.
Syahrir mengakui Soekarno-lah pemimpin republik yang diakui rakyat.
Soekarno-lah pemersatu bangsa Indonesia. Karena agitasinya yang
menggelora, rakyat di bekas teritori Hindia Belanda mendukung revolusi.
Kendati demikian, kekuatan raksasa yang sudah dihidupkan Soekarno harus
dibendung untuk kemudian diarahkan secara benar, agar energi itu tak
meluap dan justru merusak.
Sebagaimana argumen Bung Hatta bahwa revolusi mesti dikendalikan; tak
mungkin revolusi berjalan terlalu lama, revolusi yang mengguncang
‘sendi’ dan ‘pasak’ masyarakat jika tak dikendalikan maka akan
meruntuhkan seluruh ‘bangunan’.
Agar Republik Indonesia tak runtuh dan perjuangan rakyat tak
menampilkan wajah bengis, Syahrir menjalankan siasatnya. Di
pemerintahan, sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
Pusat (BP KNIP), ia menjadi arsitek perubahan Kabinet Presidensil
menjadi Kabinet Parlementer yang bertanggung jawab kepada KNIP sebagai
lembaga yang punya fungsi legislatif. RI pun menganut sistem
multipartai. Tatanan pemerintahan tersebut sesuai dengan arus politik
pasca-Perang Dunia II, yakni kemenangan demokrasi atas fasisme. Kepada
massa rakyat, Syahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan
anti-kekerasan.
Dengan siasat-siasat tadi, Syahrir menunjukkan kepada dunia
internasional bahwa revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu
bangsa yang beradab dan demokratis di tengah suasana kebangkitan
bangsa-bangsa melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme pasca-Perang
Dunia II. Pihak Belanda kerap melakukan propaganda bahwa orang-orang di
Indonesia merupakan gerombolan yang brutal, suka membunuh, merampok,
menculik, dll. Karena itu sah bagi Belanda, melalui NICA, menegakkan
tertib sosial sebagaimana kondisi Hindia Belanda sebelum Perang Dunia
II. Mematahkan propaganda itu, Syahrir menginisiasi penyelenggaraan
pameran kesenian yang kemudian diliput dan dipublikasikan oleh para
wartawan luar negeri.
Ada satu cerita perihal sikap konsekuen pribadi Syahrir yang
anti-kekerasan. Di pengujung Desember 1946, Perdana Menteri Syahrir
dicegat dan ditodong pistol oleh serdadu NICA. Saat serdadu itu menarik
pelatuk, pistolnya macet. Karena geram, dipukullah Syahrir dengan gagang
pistol. Berita itu kemudian tersebar lewat Radio Republik Indonesia.
Mendengar itu, Syahrir dengan mata sembab membiru memberi peringatan
keras agar siaran itu dihentikan, sebab bisa berdampak fatal dibunuhnya
orang-orang Belanda di kamp-kamp tawanan oleh para pejuang republik,
ketika tahu pemimpinnya dipukuli.
Meski jatuh-bangun akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri,
Kabinet Sjahrir I,
Kabinet Sjahrir II sampai dengan
Kabinet Sjahrir III
(1945 hingga 1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur
diplomasi. Syahrir tak ingin konyol menghadapi tentara sekutu yang dari
segi persenjataan jelas jauh lebih canggih. Diplomasinya kemudian
berbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai komando tentara sekutu
untuk wilayah Asia Tenggara mendesak Belanda untuk duduk berunding
dengan pemerintah republik. Secara politik, hal ini berarti secara
de facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah RI.
Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran
aksi militer Belanda pada
21 Juli 1947. Aksi Belanda tersebut justru mengantarkan Indonesia ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (
PBB). Setelah tidak lagi menjabat Perdana Menteri (
Kabinet Sjahrir III), Syahrir diutus menjadi perwakilan Indonesia di PBB. Dengan bantuan
Biju Patnaik, Syahrir bersama
Agus Salim berangkat ke Lake Success, New York melalui New Delhi dan Kairo untuk menggalang dukungan India dan Mesir.
Pada
14 Agustus 1947 Syahrir berpidato di muka sidang
Dewan Keamanan PBB.
Berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia, Syahrir mengurai
Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara
lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, secara piawai Syahrir
mematahkan satu per satu argumen yang sudah disampaikan wakil Belanda,
Eelco van Kleffens.
Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa
yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional. PBB pun
turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk
menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang
semata-mata urusan dalam negerinya.
Van Kleffens dianggap gagal membawa kepentingan Belanda dalam sidang
Dewan Keamanan PBB. Berbagai kalangan Belanda menilai kegagalan itu
sebagai kekalahan seorang diplomat ulung yang berpengalaman di
gelanggang internasional dengan seorang diplomat muda dari negeri yang
baru saja lahir. Van Kleffens pun ditarik dari posisi sebagai wakil
Belanda di PBB menjadi duta besar Belanda di
Turki.
Syahrir populer di kalangan para wartawan yang meliput sidang Dewan
Keamanan PBB, terutama wartawan-wartawan yang berada di Indonesia semasa
revolusi. Beberapa surat kabar menamakan Syahrir sebagai
The Smiling Diplomat.
Syahrir mewakili Indonesia di PBB selama 1 bulan, dalam 2 kali
sidang. Pimpinan delegasi Indonesia selanjutnya diwakili oleh Lambertus
Nicodemus Palar (L.N.) Palar sampai tahun 1950.
[3]
Selepas memimpin kabinet, Sutan Syahrir diangkat menjadi penasihat Presiden
Soekarno sekaligus Duta Besar Keliling. Pada tahun
1948 Syahrir mendirikan
Partai Sosialis Indonesia
(PSI) sebagai partai alternatif selain partai lain yang tumbuh dari
gerakan komunis internasional. Meskipun PSI berhaluan kiri dan
mendasarkan pada ajaran
Marx-
Engels, namun ia menentang sistem kenegaraan
Uni Soviet.
Menurutnya pengertian sosialisme adalah menjunjung tinggi derajat
kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap
manusia
Meskipun perawakannya kecil, yang oleh teman-temannya sering dijuluki
Si Kancil,
Sutan Syahrir adalah salah satu penggemar olah raga dirgantara, pernah
menerbangkan pesawat kecil dari Jakarta ke Yogyakarta pada kesempatan
kunjungan ke Yogyakarta. Di samping itu juga senang sekali dengan musik
klasik, di mana beliau juga bisa memainkan biola.
Tahun 1955 PSI gagal mengumpulkan suara dalam
pemilihan umum pertama di Indonesia. Setelah kasus PRRI tahun 1958
[4], hubungan Sutan Syahrir dan Presiden
Soekarno
memburuk sampai akhirnya PSI dibubarkan tahun 1960. Tahun 1962 hingga
1965, Syahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili sampai menderita
stroke. Setelah itu Syahrir diijinkan untuk berobat ke
Zürich Swis, salah seorang kawan dekat yang pernah menjabat wakil ketua PSI
Sugondo Djojopuspito menghantarkan beliau di
Bandara Kemayoran dan Syahrir memeluk
Sugondo degan air mata, dan akhirnya meninggal di Swiss pada tanggal
9 April 1966.
Karya
- Pikiran dan Perjuangan, tahun 1950 (kumpulan karangan dari Majalah ”Daulat Rakyat” dan majalah-majalah lain, tahun 1931 – 1940)
- Pergerakan Sekerja, tahun 1933
- Perjuangan Kita, tahun 1945
- Indonesische Overpeinzingen, tahun 1946 (kumpulan surat-surat dan
karangan-karangan dari penjara Cipinang dan tempat pembuangan di Digul
dan Banda-Neira, dari tahun 1934 sampau 1938).
- Renungan Indonesia, tahun 1951 (diterjemahkan dari Bahasa Belanda: Indonesische Overpeinzingen oleh HB Yassin)
- Out of Exile, tahun 1949 (terjemahan dari ”Indonesische
Overpeinzingen” oleh Charles Wolf Jr. dengan dibubuhi bagian ke-2
karangan Sutan Sjahrir)
- Renungan dan Perjuangan, tahun 1990 (terjemahan HB Yassin dari Indonesische Overpeinzingen dan Bagian II Out of Exile)
- Sosialisme dan Marxisme, tahun 1967 (kumpulan karangan dari majalah “Suara Sosialis” tahun 1952 – 1953)
- Nasionalisme dan Internasionalisme, tahun 1953 (pidato yang diucapkan pada Asian Socialist Conference di Rangoon, tahun 1953)
- Karangan–karangan dalam "Sikap", "Suara Sosialis" dan majalah–majalah lain
- Sosialisme Indonesia Pembangunan, tahun 1983 (kumpulan tulisan Sutan Sjahrir diterbitkan oleh Leppenas)
Jabatan
- Perdana Menteri pertama Republik Indonesia
- Ketua Partai Sosialis Indonesia (PSI)
- Ketua delegasi Republik Indonesia pada Perundingan Linggarjati
- Duta Besar Keliling (Ambassador-at-Large) Republik Indonesia